Cintamu yang Tidak Dipahami Siapapun [Cerpen]

Adi Chandra Wira Atmaja
3 min readFeb 13, 2022

--

Credit : Matthew Henry (https://unsplash.com/photos/kX9lb7LUDWc)

Hubunganmu dan Dinda berakhir. Tidak dengan baik-baik saja. Bukan karena ketidaksepahaman, apalagi main serong. Keluargamu hanya tidak memahami, dan kau tidak berdaya untuk membuat mereka paham. Sebab dari sakit hatimu bukan sekedar perpisahan, tapi juga kesendirian, dimana tidak satupun bahkan keluargamu sendiri yang mampu memahaminya. Sebab itu pula yang buat kau kerap menceritakan kisah ini pada siapapun yang kau temui :

Bahwa kau sangat menyayanginya. Tak peduli apa kata orang, dirimu tak pernah berhenti mencintainya. Tentu saja ini terdengar klise awalnya, semua yang jatuh cinta berkata demikian. Tapi kau selalu ingin meyakinkan siapapun yang mendengarkan ceritamu bahwa ini jauh berbeda dari kisah cinta manapun yang pernah mereka dengar.

Kau merasakan cinta itu sejak pertama kali bertemu dengannya, di naungan pohon teduh, ketika hujan membasahi hari. Dia tak menoleh padamu, sedikit pun matanya tak melirik. Sebaliknya, bola matamu gelisah, melirik sesekali, coba membaca bahasa tubuhnya.

“apa kehadiranku membuat ia tak nyaman?” Benakmu, sambil sebisa mungkin tidak menimbulkan gerik yang meresahkan.

Lucunya, segala upaya sok gentle itu membuat dirimu sendiri kaku. Hampir dua jam kalian menanti redahnya hujan, tanpa canda apalagi tawa. Kau bagaikan remaja cupu yang jatuh cinta pada pandangan pertama, yang ingin menyapa pun tak berani, apalagi bertatap mata.

Kau pun masih ragu dengan pandangan pertama itu. Sepulang dari sana, sempat terbesit dikepalamu; terlalu meromantisir. Mungkin dirimu hanya penat dengan keseharian dan mengalihkan kepenatan dengan meromantisir momen seremeh itu.

Seminggu berlalu. Hari itu kau percaya bahwa kalian memang dipertemukan. Kau sangat yakin akan bertemu dengannya di tempat yang sama. Setelah memastikan semuanya telah tertidur, diam-diam kau menyelinap, keluar dari kamar, sembari mengingat-ingat kembali; di pohon teduh mana kalian berjumpa.

Tak butuh waktu lama, matamu segera menangkap hadirnya. Hujan tiba-tiba mengguyur, seakan mendorongmu untuk kembali berteduh, mengulang apa yang pernah dan mengungkap apa yang belum. Pelukan segera kau beri, ia pun tak segan menerima. Malam itu, cintamu digenapkan oleh dingin dan malam.

Sejak malam itu, hubungan kalian semakin erat. Kau mulai menamainya Dinda — kau menamainya sebab ia enggan memberi tahu namanya. Kau dan Dinda selalu menyempatkan waktu untuk bertemu, dua atau tiga kali dalam seminggu. Pada tempat yang sama; di bawah pohon teduh yang tumbuh di pinggir jalan, sebelah kanan dari arah barat, di tengah perumahan kelas menengah, di halaman rumah tak berpenghuni; membuat suasana sekitarnya cukup tenang dan asri.

Dinda selalu setia mendengar kisahmu, apapun yang kau kisahkan. Sikapnya itu membuatmu merasakan arti dari pulang. Mungkin, saking rindunya dirimu pada kehadiran sosok pendengar setia, atau karena kau sedang jatuh cinta. Sulit dijelaskan, tapi demikianlah yang kau rasakan.

Pertemuanmmu dan Dinda selalu sederhana. Kalian bertemu, duduk bersama, berbagi cerita, tertawa, berpegangan tangan, lalu kembali tertawa tanpa memahami apa sebabnya. Sesekali, kau dan Dinda berjalan menyusuri blok, atau mengitari halaman rumah tak berpenghuni, tanpa tujuan apapun selain menghabiskan waktu bersama-sama.

Kian hari, kau semakin teguh dengan pendirianmu; bahwa Dinda memang jodohmu, dan kau semakin tidak sabar untuk segera melamarnya. Dirimu pun kembali bertemu dengannya, di tempat yang sama. Dinda masih saja duduk di bangku yang sama, dengan air muka yang selalu sama. Sekuntum bunga yang kau petik dari halaman rumah, yang dikemas seadanya dengan kertas minyak milik ibu, menemanimu menghampiri sang kekasih dengan yakin.

Ya. Kau melamarnya. Menyampaikan betapa kau mencintainya dan telah siap untuk membawanya kerumah, memperkenalkan dirinya pada Ibu dan ketiga kakakmu.

Namun Dinda tak berucap sepatah kata pun. Barangkali dia belum siap, dan kau tidak ingin memaksakan kehendak.

Tapi hubunganmu terus berlanjut, dan kalian terus bertemu untuk bersama menikmati waktu.

Kurang lebih hampir dua bulan, sampai masalah tiba. Tidak sengaja, Ibu memergoki dirimu sedang berduaan dengannya. Ia segera menarik lenganmu, tanpa sepatah kata pun. Kau menurut tak berdaya, pergi meninggalkan Dinda.

Sepanjang perjalanan ibu tak banyak bicara, pun sesampainya dirumah. Ketiga kakakmu juga sedang menanti, pula mereka tidak banyak bicara. Hanya kakak pertamamu yang sempat berbicara pada ibu, menerangkan spekulasi mereka tentang bagaimana dirimu berkali-kali menyelinap keluar dari kamar pada malam tertentu hanya untuk bermain dengan sebuah boneka.

Sementara itu, Kau hanya duduk di ranjang lusuhmu. Hanya terdiam, terus terdiam hingga terlelap.

_________________________________________________________________

Kau dibangunkan oleh bebunyian dan dinginnya rantai yang melilit lengan kirimu. Di samping ranjang, ibu sedang duduk di bangku plastik sembari mengusap kepalamu. Matanya berkaca, sembari meminta maaf.

Ibupun pergi setelah memandikanmu. Tinggalkan kau sendiri, terdiam, di kamar sempit. Tenggelam dalam kesepian, dan kerinduanmu terhadap cinta yang rasanya baru kemarin kau temukan.

Also posted on my Wordpress : https://ngelamunonline.wordpress.com/2022/02/13/dirimu-dan-cinta-yang-tidak-dipahami-siapapun/

--

--

Adi Chandra Wira Atmaja

Akun ini saya buat untuk mengarsipkan ingatan, impresi dan pandangan subjektif saya atas berbagai hal; sosial, politik, budaya, seni, lokalitas.