Jurnalisme untuk Musik, Jurnalisme untuk Seni : Apa Kabar?

Adi Chandra Wira Atmaja
2 min readNov 11, 2022

--

Sumber : Dok. Pribadi

Di depan sana, ada mas Wendi Putranto; kini manager dari Seringai, dahulu menulis untuk Majalah Rolling Stone.

Gambar ini saya ambil pada Jum’at pagi, Ecosystem Music Fair Palu 2022 (11/11/2022), ketika ia sedang berkisah mengenai geliat Majalah Aktuil yang usianya lebih tua enam bulan dibanding Majalah Rolling Stone.

Pada masa dimana TVRI dimonopoli oleh beringin, Aktuil menjadi jalan alternatif bagi musisi yang tak mampu menembus arus utama kala itu. Gemilangnya pun memuncak kala Denny Sabri — pendiri sekaligus jurnalisnya — sukses melobi Deep Purple untuk manggung di Jakarta pada Desember 1975.

Perhelatan dari band luar negeri pertama yang manggung di Indonesia ini pula menjadi titik balik dari masa keemasan Aktuil; mulai meliput berita non-musik, hingga benar-benar mati pada tahun 1986.

Spiritnya kemudian diteruskan oleh media cetak lain yang berseliweran setelahnya; Majalah Hai, Trax, Tabloid Mumu, Citra, Trolley, Vista dan lain sebagainya.

Mas Wendi pun sempat menuturkan geliatnya dibalik Fanzine bertajuk Brainwashed. Majalah yang ia niatkan untuk meliput band kawan ini dikerjakannya sendiri, liput sendiri, sunting sendiri, terbitkan sendiri, pula dijualnya sendiri. Majalah ini pun sempat menjadi wadah bagi grup-grup cadas Jakarta; Tengkorak dan Betrayer diantaranya.

Majalah Rolling Stones Indonesia kemudian menjadi pentolan bagi jurnalisme musik melalui media cetak sejak masuknya ke Indonesia pada tahun 2005. Di Kota Palu sendiri, spirit yang sama pun dipikul oleh Majalah Terkam, Indie Palu dan Stepmagz.

Gemilang ini berlangsung hingga menjelang 2018; Iklan yang dahulu menghiasi 30% majalah, kala itu tinggal satu halaman saja; itupun diskon. Penjualan ratusan eksamplar semata tidak mampu membiayai pekerja. Hingga ia benar-benar berakhir ketika memasuki tahun 2018.

Tutupnya Majalah Rolling Stones Indonesia ia anggap sebagai akhir dari jurnalisme musik di media cetak, bersamaan dengan bangkitnya media sosial. Wendi sempat berharap Jurnalisme Musik akan tetap jaya sebagai media online. Namun, melihat iklan berbayar yang terpusat pada segelintir media besar, ia pun sangsi dengan harapan itu sendiri.

Bincang-bincang pun berakhir dengan penegasan pada; “Kini semua orang jadi media” dan “Jurnalisme Musik telah redup”

Ya, kita bisa saja membantah ini. Ada banyak pemberitaan mengenai penyelenggaraan musik bukan? Tapi saya pikir bukan itu yang diharapkan. Kini pemberitaan memang membludak setiap harinya, arus informasi melaju bak banjir bandang. Ironisnya adalah; nol perspektif!

Sepengalaman saya, nasib ini juga menimpa geliat seni lainnya; Tari, Rupa, Sastra, bahkan teater. Saya tidak menafikan pentingnya straight news sebagai penyampai informasi yang lugas, namun kerja-kerja kesenian menawarkan perspektif; dan publik membutuhkan perspektif di tengah membludaknya arus informasi yang tidak jarang; kering.

Jadi, apa kabar jurnalisme seni di wilayahmu?

--

--

Adi Chandra Wira Atmaja

Akun ini saya buat untuk mengarsipkan ingatan, impresi dan pandangan subjektif saya atas berbagai hal; sosial, politik, budaya, seni, lokalitas.